Terminologi sekularisme diterjemahkan kedalam bahasa Arab
dengan ilmaniyyah, dan tersebar luas di Mesir dan Timur Tengah.
Terminologi sekularisme berasal dari bahasa Inggris secularism, yang
berarti bersifat keduniaan, kesemestaan, dan yang nyata dari dari apa yang ada
di dunia. Lawan katanya adalah: suci, yaitu yang bersifat keagamaan, wakil dari
langit, yang menguasai segala hukumnya, jadi sekularisme menempatkan hal-hal
ilmiah, tata aturan dan masalah-masalah sosial pada posisi agama.
Karena terminologi ini tumbuh di masyarakat Eropa yang
mempunyai kecenderungan arah pada keduniaan dan aliran realisme dalam mengatur
urusan dunia. Bukan dengan syari'ah Allah yang datang dari luar alam ini. Mereka
mengatur urusan hidup di dunia ini dengan aturan yang bersifat keduniaan (al-'alamiyyah
atau 'ilmaniyyah).
Sekularisme sebagai pandangan manusia dalam mengatur dunia,
dijadikan aliran dalam referensi keduniaan untuk menangani urusan-urusan
manusia, tidak mungkin dapat dipahami tanpa menelusuri perjalanan sejarah
peradaban Eropa pada perkembangannya dalam kerangka Peradaban Barat Kristen
dengan akar-akar Helenisme Yunani di bidang filsafat, Tradisi Romawi dalam
bidang hukum, serta Tradisi Kristen yang masuk ke dalamnya.
Agama Kristen sejak awal perkembangannya selama berabad-abad
di tengah masyarakat Eropa adalah sebagai agama. Bukan negara atau politik dan
sebagai satu ajaran cinta kasih yang tidak memberi manusia acuan hukum dan
sistem pemerintahan. Sementara misi gerejanya khusus di kerajaan langit, tidak
mempunyai urusan dengan kekuasaan di bumi dan mengatur masyarakat manusia dalam
masalah politik, ekonomi, sosial dan tidak pula disiplin ilmunya.
Selama rentang waktu berabad-abad ini hubungan yang berjalan
antara gereja dan negara mengacu pada Teori Dua Pedang (Theory of the Two
Swords) yaitu pedang ruhiyah kekuasan milik gereja dan pedang zamaniyah
kekuasaan sipil, milik negara. Akan tetapi ketika gereja keluar dari
batas-batas sebenarnya, yaitu hanya misi rohani, kerajaan langitpun lalu merebut
kekuasaan temporal maka urusan duniapun diintervensi oleh kekuatan agama.
Kemudian sebagai akibatnya, masyarakat Eropa mengalami stagnasi dan kemunduran
serta masa-masa kegelapan dan yang berkembang kemudian pada masa itu adalah
Teori Satu Pedang (Theory of One Sword), yaitu kekuasaan yang
digabungkan antara otoritas agama dan kekuasaan sipil, baik berada di tangan
tokoh-tokoh gereja maupun di tangan para raja atau kaisar. Atas nama agama
mereka menduduki tahta kerajaan dan gereja memberkati. Sistem ini dikenal dalam
sejarah Eropa dengan Terminologi Hak Ketuhanan bagi Raja-Raja (Divine Right
of The Kings).
Dalam menghadapi sistem ini pada kenyataan keterbelakangan
peradaban yang diakibatkan oleh kondisi suram serta kesewenang-wenangan atas
nama agama, muncullah pemerintahan sekuler yang diletuskan oleh Renaissance
Eropa yang secara terbuka menentang kekuasaan dan dominasi agama serta
membangun
kecenderungan sekularisme baru,
di atas Tradisi Eropa Modern yang kemudian menggeser agama dan ketuhanan untuk
diganti dengan otoritas akal dan empirisme.
Paham sekularisme yang melanda Eropa telah mengembalikan peran gereja
ke batas-batas wilayahnya yang semula. Penyelamatan rohani dan kerajaan langit
serta mengangkat moto, “Serahkan apa
yang menjadi Hak Kaisar kepada Kaisar, dan apa yang menjadi Hak Tuhan kepada
Tuhan”, di samping menempatkan akal dan empirisme terpisah dari agama dan
ketuhanan. Sebab hanya akal dan realitas empirik yang dijadikan pedoman dalam
urusan peradaban manusia, yaitu membuat tirai antara langit dan bumi, dengan
bertolak dari satu filosofi bahwa alam ini berdiri sendiri yang diatur oleh
hukum sebab dan akibat tanpa membutuhkan adanya aturan tuhan (Divine Laws)
yang turun dari balik alam indrawi ini. Jadi, sekularisme dapat dipahami menjadi
acuan dalam mengurus planet ini pada manusia sendiri. Tanpa campur tangan dari
aturan samawi atau wahyu yang datang dari Allah.
Sekularisme Eropa pernah mengenal adanya aliran yang
mempercayai adanya tuhan dan para filosufnya mampu mengkombinasikan antara kepercayaan
pada tuhan pencipta alam dan sekularisme yang memandang bahwa alam ini berdiri
sendiri, yang mana urusan kehidupan manusia dipandang ada pada otoritas manusia
yang bebas dari aturan syariah tuhan. Sintesa ini mengacu pada konsep Aristoteles
tentang wilayah perbuatan ilahi. Tuhan menurut pandangan Aristoteles, tuhan itu
maha esa terpisah dari alam, tetapi Dia adalah penciptanya. Dia telah
menitipkan pada alam dan dunia ini hukum sebab akibat, yang mengatur dengan
sendirinya dan untuk dirinya. Bukan karena adanya sesuatu dari luar yang menimbulkan
gerak padanya. Perhatian tuhan itu bergantung pada dirinya dan tidak memiliki
campur tangan dalam peristiwa parsial di dunia dan alam semesta. Filosuf-Filosuf
Barat yang membuat sintesa ini di antaranya Hobbes (1588-1679), Locke
(1633-1716), Leibniz (1647-1716), Rousseau (1712-1778), Lessing (1729-1817).
Alam dipandang berdiri sendiri, dan diatur oleh hukum sebab
musabab yang dititipkan oleh Tuhan
padanya. Hukum alam inilah yang dijadikan sumber objek pengetahuan yang benar,
yang dapat dijelaskan dengan argumen dan reasoning yang dilakukan oleh manusia
melalui akal dan pengamatan empiric tanpa campur tangan dari langit. Demikian
landasan sekularisme membangun "keduniaannya" pada konsep Aristoteles
bagi wilayah perbuatan dzat Ilahiah, Dia hanya sebagai Pencipta, lalu setelah
selesai menciptakan, perhatian-Nya hanya tertuju hanya pada dzat nya sendiri. Tanpa
mengurusi atau mencampuri urusan makhluk-makhluk-Nya, tidak berbeda dengan
pembuat jam yang memberikan sarana dan alat-alat yang menimbulkan gerakan,
tanpa harus berada dan mengurusi bagaimana jam itu berjalan setelah
pembuatannya.
Trend sekularisme lebih mudah memantapkan posisinya karena
terbantu oleh watak agama Kristen yang mempunyai konsep tentang hubungan antara
agama dan negara: "Berikan apa yang menjadi milik Kaisar kepada Kaisar."
Sementara peran agama tidak lebih dari sekedar penyelamat rohani. Dan kerajaan
langit tidak memberi satu aturan syariatpun tentang masyarakat dan negara, Sehingga
masalah ini seolah menjadikan agama terpenjara di gereja, agama hanya ada dalam
gereja dan dalam hati sanubari individual "revolusi perbaikan agama".
Disamping itu faktor pendukung
lain bagi tumbuhnya perkembangnya sekularisme, adanya tradisi Romawi di bidang
filsafat hukum dan perundang-undangan yang telah menjadikan asas
"manfaat" yang tidak dikaitkan dengan agama dan moralitasnya serta
aturan-aturan yang menjadi tolak ukurnya, akan tetapi asas manfaat itulah yang
menjadi ukuran. Oleh sebab itu, jalan menuju ke undang-undang hukum sekular
terbuka lebar.
Demikian sekularisme tumbuh dalam lingkungan
Era Kebangkitan Barat yang ditandai dengan pemisahan antara "langit"
dari "bumi" serta pembebasan masyarakat manusia dari ikatan-ikatan
dan batasan-batasan syariat Tuhan, kemudian
sandaran rujukan untuk mengurus dunia ini hanyalah manusia sebagai
penguasa atas dunia ini. Kemuadian manusia hanya tunduk pada akalnya saja dalam ideologi
Renaissance yang mendirikan epistemologi yang memisahkan antara dua era ruh
manusia. Pertama era keselamatan Tuhan menurut Thomas Acquini dan kedua era
ensiklopedi para filosuf pencerahan (Renaissanse).
Maka harapan pada kerajaan langit bergeser
untuk diganti dengan era rasionalisme, sistem karunia Ilahiyah menghilang di
hadapan sistem alam, dan otoritas Tuhan tunduk pada otoritas kesadaran manusia
yang disebut dengan terminologi kebebasan.
Penulis: Mohammad Aebror El Fairuz
Sumber: Ma'rakah al-Mushthalahat baina al-Gharb wa al-Islam, Dr. Muhammad Imarah, Maktabah An-Nahdoh Misr
0 comments:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !